Utak-Atik Beton Harjono Sigit
Oleh: Rifandi S. Nugroho | Senin, 24 Sepember 2018
Sudah menjadi hal biasa bagi Harjono Sigit untuk bermain dengan bentuk-bentuk struktural yang tidak biasa di eranya, terutama dengan material beton bertulang. Bukan saja karena dirinya mampu menggambar dengan baik di atas kertas, namun juga memastikan bahwa apa yang terbangun sesuai dengan apa yang dipikirkannya. Tentunya, pemahaman prinsip dan perhitungan yang cermat menjadi kunci kekaryaannya.
Ciri khas permainan beton Harjono Sigit adalah dengan melakukan optimalisasi potensi gaya tarik material, guna mereduksi penggunaan elemen struktur yang tidak diperlukan di dalam bangunan. Dalam prosesnya, ia kerap menentukan sendiri jenis, ukuran, dan komposisi besi tulangan di dalam adukan beton. Tidak jarang dirinya harus turun langsung menjelaskan kepada pekerja di lapangan perihal logika teknis yang dimaksudnya.
Banyak ahli struktur, insinyur sipil, dan arsitek mancanegara terobsesi untuk mengeksplorasi potensi beton bertulang untuk pembangunan pasca perang dunia kedua. Dengan beton bertulang, bentuk-bentuk bangunan yang lebih plastis dan volumetrik menjadi mungkin untuk diwujudkan. Sebab, tulangan baja di dalam campuran beton mampu meredam tegangan tarik yang terjadi, sekaligus memiliki daya rekat yang baik terhadap beton akibat koefisien kedua material yang hampir sama.
Deretan nama seperti Felix Candella, Pierre Luigi Nervi, Le Corbusier, dan Oscar Niemeyer sempat mencuat pada dekade 1930an hingga 1950an. Mereka merayakan kemampuan beton bertulang pada beberapa bangunanya. Rupanya, dari mereka lah Harjono Sigit banyak terinspirasi sejak masih di bangku kuliah. Dengan terang-terangan Harjono mengaku bahwa dirinya banyak mengadopsi prinsip struktur yang digunakan oleh arsitek-arsitek itu ke dalam karyanya. Selain karena lincah bermain struktur, beberapa di antara mereka juga berpraktik di iklim tropis, sehingga Harjono tertarik untuk mempelajari pendekatannya.
Misalnya, struktur busur gantung rancangan Harjono pada bangunan Pusat Penelitian Semen Gresik, Jawa Timur. Busur beton ini mirip dengan Palace of the Soviets, rancangan yang diajukan Le Corbusier saat mengunjungi Uni Soviet pada tahun 1928. Dengan memanfaatkan gaya tarik busur, baik Le Corbusier maupun Harjono Sigit, ingin membebaskan lantai bangunan dari barisan kolom struktur yang menopang atap demi memaksimalkan akses dan sirkulasi di dalam ruang serba guna. Sayangnya, rancangan Le Corbusier berakhir di atas kertas dan maket tanpa pernah terbangun.
Pada gerbang masuk Pasar Atum Tahap 1, gerbang kampus ITS Baliwerti, dan pondasi Masjid Petrokimia Gresik, Harjono membuat struktur Hyperbolic Paraboloid (Hypar), seperti payung terbalik dari coran beton. Penggunaan struktur ini terinspirasi dari karya Felix Candela Outerino, seorang arsitek cum ahli struktur asal Mexico. Bagi Candela, dari seluruh bentuk cangkang yang ada, Hyperbolic Paraboloid adalah yang paling praktis dan mudah untuk dibangun. Pada prinsipnya, bentuk ini tersusun dari kurva tulangan di dalam beton yang berpotongan dari dua arah yang berbeda, sehingga membentuk tegangan maksium pada permukaan material.
Selain itu, pada gerbang masuk Gedung Direksi Perhutani Divisi Regional Jawa Timur Harjono membuat struktur cangkang Conoida. Kali ini Harjono mengadopsi bentuk gerbang masuk Unesco Headquarter rancangan Pierre Luigi Nervi, seorang insinyur sipil asal Italia yang memiliki talenta mendesain. Prinsip struktur Conoida hampir sama dengan Hypar—dengan bentuk kurva yang memaksimalkan gaya tarik material—namun, tidak seperti payung yang tumpuannya terpusat di bagian tengah. Bentuk ini lebih mirip dengan sayap burung, yang kedua sayapnya ditopang oleh satu busur di bagian tengah.
Terakhir adalah tangga simetris dengan bordes melayang. Wilhelm Fuchssteiner mempublikasikan pertama kali logika struktur tangga ini pada tahun 1954, dalam jurnalnya yang berjudul Die Freitragende Wendeltreppe; Beton un Stahlbentoubau (The self-supporting spiral staircase; Concrete and reinforced concrete construction). Cara perhitungannya tidak mudah. Harus mempertimbangkan dimensi anak tangga, bordes, sudut kemiringan, untuk menetukan dimensi besi tulangan, balok, dan ketebalan pelat beton. Harjono Sigit menerapkan prinsip struktur tangga ini, sekaligus menghitung sendiri dan mengembangkan bentuknya ke berbagai macam model, mulai dari yang satu arah, hingga tiga arah pada proyek Pasar Atum Surabaya tahap satu.
Selain faktor ketertarikan, ada dua konteks penting yang turut membentuk cara Harjono Sigit berkarya. Pertama, Harjono adalah produk kurikulum lawas jurusan arsitektur ITB generasi awal. Ia diproyeksikan untuk dapat mengatasi persoalan bentuk dan konstruksi “sampai ke lubuknya”, atau yang disebut Van Romondt sebagai “seniman berpengetahuan insinyur dan insinyur yang berjiwa seniman”. Kedua, Harjono mengawali karir pada waktu dan ruang yang cukup menguntungkan. Klien pertama Harjono pada tahun 1964 adalah sebuah pabrik semen pertama di Pulau Jawa, yang tengah produktif memproduksi semen sejak 1957. Alhasil, keputusannya untuk membuka kantor di Jawa Timur selepas kuliah membuat dirinya leluasa untuk melakukan eksperimentasi arsitektur, khususnya dengan material beton bertulang.
Koleksi ini menyajikan berbagai elemen struktur eksperimen Harjono Sigit yang terdiri dari arsip foto proses pembangunan, sketsa, dan beberapa bangunan yang masih bertahan hingga hari ini.